Dibandingkan presiden Tunisia, Mesir atau Yaman, kekuasaan Muammar Gaddafi di Libya jauh lebih panjang. Gaddafi berkuasa sejak ia berhasil melakukan kudeta di Libya pada tahun 1969 hingga hari ini.
Gaddafi belum menunjukkan tanda-tanda untuk "mengalah" pada tuntutan rakyatnya, meski korban sudah berjatuhan. Penguasa Libya yang "nyentrik" itu tidak segan-segan mengerahkan pasukan militernya untuk meredam aksi protes. Bahkan, ia kabarnya memerintahkan para pilot pesawat tempurnya untuk menembaki demonstran antipemerintah.
Jumlah korban tewas dalam ketegangan politik di Libya sudah mencapai 400 orang dan ribuan pengunjuk rasa lainnya mengalami luka-luka. Gaddafi pun mulai kehilangan dukungan dari dalam pemerintahannya sendiri. Duta Besar Libya di Malaysia, mengutuk tindakan represif pasukan Gaddafi dan menyebutnya sebagai pembantaian terhadap Libya. Sementara Dubes Libya di India, dilaporkan mengundurkan diri setelah mendengar Gaddafi mengerahkan pesawat tempur untuk menembaki para demonstran.
Sedemikian nekatkah Gaddafi menghadapi aksi protes rakyatnya sendiri? Analis Timur Tengah, Zvi Bar'el dalam analisanya di surat kabar Haaretz menyatakan, menumbangkan Gaddafi tidak semudah menumbangkan presiden Mesir atau Tunisia.
Ia menulis, sejak berkuasa di Libya, Gaddafi tidak pernah menyebut dirinya sebagai "presiden atau jenderal". Ia selalu menegaskan bahwa kekuasaannya merupakan hasil konsensus umum, atas dasar persaudaraan, setelah kudeta tahun 1969. Dan dengan alasan "persaudaraan" itu, Gaddafi tidak memberi ruang bagi aksi-aksi unjuk rasa dan perubahan rezim di Libya. Aksi-aksi semacam itu dianggap pemberontakan dan pengkhianatan terhadap "saudara yang lebih tua."
Perekonomian Libya relatif stabil dengan pendapatan per kapita setiap tahunnya sekitar 14.000 dollar AS. Gaddafi melakukan investasi di industri manufaktur dan menyerahkan investasi itu hanya pada kroni-kroninya. Sebagai imba balik, Qaddari hanya meminta kroni-kroninya "patuh secara total" pada pemerintahan dan kekuasaannya.
Itulah sebabnya, Gaddafi melihat aksi protes rakyat sebagai "pengkhianatan" yang tidak bisa diselesaikan dengan cara dialog atau pemindahan kekuasaan pada pihak lain karena Muammar Gaddafi-lah sesungguhnya rezim Libya itu sendiri. Institusi pemerintahan dan parlemen di Libya sudah lama mandul. Tak heran jika organisasi-organisasi hak asasi manusia menyebut Libya sebagai negara yang paling buruk di dunia dalam hal hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Posisi Gaddafi semakin tak tergoyahkan menyusul pulihnya hubungan bilateral Libya dengan AS, setelah AS menghapus Libya dari dari daftar teroris pada tahun 2007. Tahun 2008, pemerintahan Gaddafi membayar uang kompensasi sebesar 1,4 miliar dollar pada AS, untuk dibagikan bagi para korban aksi-aksi teror yang selama ini dituduhkan AS pada Libya. Sejak itulah, AS mulai kembali "ikut campur" di Libya. Alih-alih mengklaim sebagai negara yang ingin menegakkan demokrasi, AS malah mendukung pemerintahan Gaddafi yang tidak demokratis. AS bahkan bersikap lunak terhadap tindakan represif Gaddafi pada para demonstran. Berbeda dengan kecaman keras AS terhadap tindakan represif Husni Mubarak, saat revolusi Mesir.
Gaddafi juga mengamankan posisinya dengan memberikan jabatan penting pada anak-anaknya sendiri. Anak Gaddafi yang bernama Muttasim, ditunjuk sebagai penasehat keamanan dalam negeri. Anak Gadddafi lainnya, yaitu Khamis ditunjuk sebagai komandan militer senior yang mengepalai Brigade Khamis--salah satu pasukan elit Libya yang sangat terlatih, Saadi ditunjuk sebagai pejabat pemerintahan senior dan Saif al-Islam ditunjuk sebagai kepala kebijakan dan urusan luar negeri Libya.
Sulit diprediksi akan seperti apa akhir dari revolusi rakyat Libya, meski kabar yang beredar menyebutkan bahwa sejumlah komandan batalion angkatan bersenjata Libya mulai berpihak pada rakyat yang melakukan unjuk rasa, termasuk munculnya sosok putera dari pahlawan nasional Libya, Omar Al-Mukhtar yang ikut turun bersama para demontsran dan mendorong kelompok etnis dan politisi di Libya untuk menumbangkan Gaddafi.
Situasi di Libya tidak sama dengan di Tunisia atau Mesir, dimana partai-partai politik, militer dan institusi sipil berfungsi dengan baik. Di Libya, konstitusi disusun berdasarkan apa yang disebut sebagai "Buku Hijau Gaddafi." Di Libya, juga tidak ada partai politik dan tidak ada gerakan Islam yang cukup kuat. Hanya Gaddafi, satu-satunya kekuatan yang mengendalikan militer, institusi pemerintah bahkan kelompok-kelompok etnis yang ada di negeri itu.